Tuesday, May 21, 2013

Sajak burung-burung Kondor-WS Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih
para petani – buruh yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil
yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit di batu-batu
gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Djogja, 1973